Saturday, July 25, 2009

Koboi Rawa



Sejauh mata memandang yang tampak hanya air keruh berwarna kecoklatan yang diselangi eceng gondok dan sedikit daratan yang ditumbuhi rumput-rumput liar. Saat matahari mulai tinggi, Samsudin (32) bersama beberapa penggembala lain memulai aktivitasnya. Mereka kerap menggembala di rawa seluas 570 km2 yang terletak di kabupaten Hulu Sungai Utara, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Ketika musim kemarau tiba dan keadaan di rawa mulai surut, biasanya para penggembala melepas hewan ternaknya untuk hidup di alam bebas tanpa perlu pengawasan ekstra. Lain halnya jika pasang melanda, Samsudin harus bekerja ekstra. Ia pun hanya melepas kerbau dari Kalang (kandang yang terbuat dari kayu yang disusun di atas rawa-rawa) di pagi hari untuk kemudian mengandangkan ternaknya saat matahari tenggelam.
Jenis kerbau yang diternakkan Samsudin biasa dikenal sebagai “Kerbau Rawa”. Bagi masyarakat setempat, kerbau dengan nama ilmiah Bubalus bubalis carabenesis ini, tak lain merupakan ternak ruminansia spesifik lokal pulau Kalimantan. Kerbau rawa memiliki habitat di rawa-rawa belantara di pedalaman pulau. Populasi kerbau rawa di Kalimantan Selatan sendiri tercatat sekitar 40 ribu ekor kerbau. Secara fisik memang tidak terlalu kentara perbedaannya antara kerbau rawa dengan kerbau yang sering terlihat di darat. Hanya saja bentuk tubuh kerbau rawa cenderung sedikit gempal dengan tanduk yang melingkar.
Kerbau rawa hidup berkelompok sehingga sangat kecil kemungkinan mereka bercampur dengan kelompok kerbau lainnya. Hal ini tentu saja lebih memudahkan pengawasan ternak di ladang/lapang yang luas. Kerbau rawa biasanya lebih banyak menghabiskan waktunya dengan berenang dan mencari makan berupa rerumputan yang ada di rawa. Sambil sesekali diawasi para penggembala yang mengenakan “Jukung” (sampan kecil).
Menjadi penggembala merupakan pekerjaan utama warga pedalaman yang ada di rawa. Selain itu mereka juga menjadi nelayan dan bertani di lahan rawa lebak. Sebagian besar ternak kerbau rawa dimiliki oleh para pengusaha atau pejabat dari berbagai daerah. Sebaliknya, penduduk lokal pedalaman rawa biasanya hanya bekerja sebagai penggembala. Tak heran jika di sini berlaku sistem angon dan bagi hasil. Bagi para pemilik modal, bisnis ternak kerbau rawa cukup menjanjikan. Seekor kerbau rawa dewasa bisa dijual dengan harga mencapai belasan juta rupiah, jauh di atas harga ternak sapi. Ironisnya, sementara itu biaya pemeliharaannya sangat rendah karena dipelihara secara tradisional dan mengandalkan alam. see more photos and texts

Tuesday, June 2, 2009

de Lethek Noedels


Suara derit kayu saling bergesek pada sebuah lumpang besar, sesekali suara lenguhan sapi terdengar mewarnai pabrik pembuatan mie tradional di Dusun Nengahan, Desa Trimurti, Kecamatan Srandakan, Bantul, Yogyakarta. pada pabrik mie merek Margo Mulyo Cap busur panah tersebut diperjakan 30 orang pekerja yang berasal dari lingkungan sekitar bekerja sebagai pembuat mie tradisional yang lebih akrab disebut dengan Mie Lethek, menurut pemilik pabrik, Judi Muryanto (65) disebut mie lethek karena Warna mie tersebut kusam, yang bagi orang Jawa Tengah, lethek berarti kotor atau kusam.
Pada pabrik tersebut hampir Semua peralatan yang digunakan masih tradisional dengan tenaga manusia dan hewan sebagai penggeraknya, Seperti alat penggiling tepung berupa batu silinder seberat 1 ton, ditarik dengan menggunakan tenaga sapi, oven untuk memasak adonan yang menggunakan tungku semen dan kayu sebagai bahan bakarnya.  Begitu juga tenaga matahari yang dimanfaatkan untuk proses pengeringan, sedangkan pada alat press pencetak mie, dahulu menggunakan tenaga manusia namun saat ini digantikan tenaga mesin yang membuatnya menjadi lebih efesien.
proses pengerjaan mie tersebut dilakukan secara shift selama 36 jam, dimulai dengan tepung tapioka dan tepung beras yang dicampur dan digiling dengan bantuan seekor sapi untuk menarik batu silinder pada lumpang besar. setelah menjadi adonan tepung kemudian di masukkan ke dalam oven, proses pengerjaan tersebut masih berlanjut dengan proses penggilingan kembali hingga di press menjadi lilitan-lilitan mie dan dijemur untuk menghasilkan mie lethek.
Hingga saat ini, pabrik yang berdiri semenjak sembilan tahun lalu masih bertahan memproduksi 5 kwintal mie lethek yang dipasarkan di Yogayakarta dan sekitarnya. see more photos and texts