Selain dikenal sebagai kapal kebanggaan Nusantara, nama Dewa Ruci juga tidak asing bagi para pecinta Wayang Kulit. Nama kapal layar jenis Baroqqentine bertiang tiga yang dibuat pada tahun 1952 oleh H.C. Stulchen & John Ship Yard ini memang berasal dari lakon Bima Suci yang mengisahkan perjalanan spiritual Bima dalam mencari air kehidupan (Tirta Merta). Alkisah, Ksatria Pandawa ini pantang menyerah dalam menaklukan berbagai rintangan untuk bertemu dengan Dewa Suksma Ruci atau biasa dikenal sebagai Dewa Ruci yang merupakan dewa kejujuran dan keberanian. Sesuai dengan cerita di atas, penamaan kapal latih TNI AL dengan nama Dewa Ruci diharapkan dapat mewariskan sifat-sifat Bima, sang Resi pemilik Kuku Pancakenaka tersebut terhadap para kadet dan awak kapal.
Jika Bima demi Negeri Astina menjelajah ke dasar Samudera untuk menjumpai Dewa Ruci, maka 88 Kadet Akademi Angkatan Laut (AAL) Tingkat III angkatan 57 berlayar ke 29 kota dan 21 negara dalam operasi bertajuk Kartika Jala Krida. Bersama KRI Dewaruci, mereka menjelajahi benua Asia, Afrika, dan Eropa. Dalam perjalanan mengarungi lautan ini, selain menjalankan latihan dan praktek berlayar, para kadet dan ABK juga bertugas menjadi duta budaya dan wisata serta duta diplomasi internasional. Jadi jangan heran, pelajaran di kapal bukan hanya semata soal tali temali atau navigasi melainkan juga berlatih berbagai tarian tradisional Indonesia, seperti tarian Rampak Gendang dari Jabar, tarian Saman dari Aceh, tarian Kecak dari Bali, tarian Badinding dari Sumatera, Reog Ponorogo dari Jatim, musik band, hingga pencak silat. Berbagai kesenian itu mereka tampilkan saat berkunjung ke beberapa negara.
Pada 23 November 2010, Perjalanan para bakal Bima Indonesia selama 258 hari dengan jarak tempuh 27.537 mil untuk menumbuhkan sifat pantang menyerah -kali ini untuk para kadet dan awak kapal- pun berakhir. Dengan mengenakan pakaian-pakaian tradisional dari berbagai negara yang mereka kunjungi, para pahlawan ini tiba di Surabaya. Sebagian kadet lain juga mengenakan pakaian tradisional Indonesia. Tampak pula piala dan sejumlah penghargaan ditata rapi di geladak KRI Dewa Ruci. Dalam pelayarannya, Kapal yang memiliki panjang 58,30 meter, lebar 9,5 meter, draft 4,5 meter, serta berbobot mati 847 ton, memang mengikuti sejumlah kejuaraan Internasional dan berhasil memenangi 23 penghargaan, diantaranya peserta pelayaran terjauh pada The Historical Sea Tall Ships Regatta 2010, penampilan terbaik kirab kota di Volos dan Lavrion, kapal paling spektakuler memasuki pelabuhan di Antwerp, hingga kapal layar tinggi terpopuler di Sail Amsterdam 2010
Disambut langsung oleh Panglima Komando Armada RI Kawasan Timur (Pangarmatim) Laksamana Muda TNI Bambang Suwarto, tiupan peluit panjang dan tabuhan genderang musik korsik pun berirama di angkasa, mengiringi Kapal Perang Latih TNI AL KRI Dewa Ruci bersandar di Dermaga Komando Armada RI Kawasan Timur, Surabaya. Bersamaan dengan itu tiang tinggi Kapal Republik Indonesia (KRI) Dewaruci menyembul di ujung barat selat Madura. Ya Dewaruci telah pulang. Wajah-wajah haru dan tatapan mata rindu dari keluarga para awak kapal menyambut wajah-wajah para bakal bima laut Indonesia. see more photos
Saturday, December 18, 2010
kembalinya sang Dewaruci
Posted by sumaryanto bronto at 5:37 AM 0 comments
Saturday, July 25, 2009
Koboi Rawa
Sejauh mata memandang yang tampak hanya air keruh berwarna kecoklatan yang diselangi eceng gondok dan sedikit daratan yang ditumbuhi rumput-rumput liar. Saat matahari mulai tinggi, Samsudin (32) bersama beberapa penggembala lain memulai aktivitasnya. Mereka kerap menggembala di rawa seluas 570 km2 yang terletak di kabupaten Hulu Sungai Utara, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Ketika musim kemarau tiba dan keadaan di rawa mulai surut, biasanya para penggembala melepas hewan ternaknya untuk hidup di alam bebas tanpa perlu pengawasan ekstra. Lain halnya jika pasang melanda, Samsudin harus bekerja ekstra. Ia pun hanya melepas kerbau dari Kalang (kandang yang terbuat dari kayu yang disusun di atas rawa-rawa) di pagi hari untuk kemudian mengandangkan ternaknya saat matahari tenggelam.
Jenis kerbau yang diternakkan Samsudin biasa dikenal sebagai “Kerbau Rawa”. Bagi masyarakat setempat, kerbau dengan nama ilmiah Bubalus bubalis carabenesis ini, tak lain merupakan ternak ruminansia spesifik lokal pulau Kalimantan. Kerbau rawa memiliki habitat di rawa-rawa belantara di pedalaman pulau. Populasi kerbau rawa di Kalimantan Selatan sendiri tercatat sekitar 40 ribu ekor kerbau. Secara fisik memang tidak terlalu kentara perbedaannya antara kerbau rawa dengan kerbau yang sering terlihat di darat. Hanya saja bentuk tubuh kerbau rawa cenderung sedikit gempal dengan tanduk yang melingkar.
Kerbau rawa hidup berkelompok sehingga sangat kecil kemungkinan mereka bercampur dengan kelompok kerbau lainnya. Hal ini tentu saja lebih memudahkan pengawasan ternak di ladang/lapang yang luas. Kerbau rawa biasanya lebih banyak menghabiskan waktunya dengan berenang dan mencari makan berupa rerumputan yang ada di rawa. Sambil sesekali diawasi para penggembala yang mengenakan “Jukung” (sampan kecil).
Menjadi penggembala merupakan pekerjaan utama warga pedalaman yang ada di rawa. Selain itu mereka juga menjadi nelayan dan bertani di lahan rawa lebak. Sebagian besar ternak kerbau rawa dimiliki oleh para pengusaha atau pejabat dari berbagai daerah. Sebaliknya, penduduk lokal pedalaman rawa biasanya hanya bekerja sebagai penggembala. Tak heran jika di sini berlaku sistem angon dan bagi hasil. Bagi para pemilik modal, bisnis ternak kerbau rawa cukup menjanjikan. Seekor kerbau rawa dewasa bisa dijual dengan harga mencapai belasan juta rupiah, jauh di atas harga ternak sapi. Ironisnya, sementara itu biaya pemeliharaannya sangat rendah karena dipelihara secara tradisional dan mengandalkan alam. see more photos and texts
Posted by sumaryanto bronto at 11:55 AM 1 comments
Labels: photo story
Tuesday, June 2, 2009
de Lethek Noedels
Suara derit kayu saling bergesek pada sebuah lumpang besar, sesekali suara lenguhan sapi terdengar mewarnai pabrik pembuatan mie tradional di Dusun Nengahan, Desa Trimurti, Kecamatan Srandakan, Bantul, Yogyakarta. pada pabrik mie merek Margo Mulyo Cap busur panah tersebut diperjakan 30 orang pekerja yang berasal dari lingkungan sekitar bekerja sebagai pembuat mie tradisional yang lebih akrab disebut dengan Mie Lethek, menurut pemilik pabrik, Judi Muryanto (65) disebut mie lethek karena Warna mie tersebut kusam, yang bagi orang Jawa Tengah, lethek berarti kotor atau kusam.
Pada pabrik tersebut hampir Semua peralatan yang digunakan masih tradisional dengan tenaga manusia dan hewan sebagai penggeraknya, Seperti alat penggiling tepung berupa batu silinder seberat 1 ton, ditarik dengan menggunakan tenaga sapi, oven untuk memasak adonan yang menggunakan tungku semen dan kayu sebagai bahan bakarnya. Begitu juga tenaga matahari yang dimanfaatkan untuk proses pengeringan, sedangkan pada alat press pencetak mie, dahulu menggunakan tenaga manusia namun saat ini digantikan tenaga mesin yang membuatnya menjadi lebih efesien.
proses pengerjaan mie tersebut dilakukan secara shift selama 36 jam, dimulai dengan tepung tapioka dan tepung beras yang dicampur dan digiling dengan bantuan seekor sapi untuk menarik batu silinder pada lumpang besar. setelah menjadi adonan tepung kemudian di masukkan ke dalam oven, proses pengerjaan tersebut masih berlanjut dengan proses penggilingan kembali hingga di press menjadi lilitan-lilitan mie dan dijemur untuk menghasilkan mie lethek.
Hingga saat ini, pabrik yang berdiri semenjak sembilan tahun lalu masih bertahan memproduksi 5 kwintal mie lethek yang dipasarkan di Yogayakarta dan sekitarnya. see more photos and texts
Posted by sumaryanto bronto at 6:43 AM 1 comments
Friday, July 11, 2008
Kecil-Kecil jadi Dalang
Cendhikia Ishmatuka Srihascryasmoro. Parasnya mungil dan selalu tampak kalem. Usianya masih sangat belia, tetapi putra pasangan bapak Muryadi dan Ibu Retno Manik Trihapsari yang lahir di kota Solo, 5 September 2001 itu sudah sangat piawai memerankan ki dalang kecil di atas pentas-pentas pertunjukan wayang. Penampilannya pun selalu menarik dan meminta decak kagum penonton, seperti yang terlihat pada pentasnya yang ke-11 di acara Wayang Lintang Johar 4 yang dilaksanakan di kampung Batik, Kauman di kota Solo. Bocah berperawakan kecil tetapi lincah itu bahkan telah melanglang dunia pentas dan pertunjukan wayang di berbagai tempat di Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta.
see more photos and texts
Posted by sumaryanto bronto at 9:11 AM 4 comments
Monday, June 30, 2008
review my photographs
Several of my photographs has review by GlobalCompassion.com (”Seeing the World”) is to display photography that reveals life (and stories from life) in people and cultures around the world. The work of one photographer will be featured on the main page each week with a set of nine to twelve photos each. from this web, as follows:
"When I see Sumaryanto Bronto’s photography I’m reminded that talented and well trained photographers are emerging all over the world, and they are documenting their own cultures as insiders with skill and passion. We need to see their work, and I hope this website will be a place where that happens"
more complete please was opened: HERE
Posted by sumaryanto bronto at 11:19 AM 1 comments
Thursday, June 19, 2008
indonesian ladyboy
Thick face powder, lipstick, eye shadow, mini skirt, tanktop, wig, are prepared for along night. Rahmat a.k.a Vita start her night with the routine of putting make up on her face. Smears by smears of face powder padded to her manly face right to end of his making up routine, in front of a big mirror, Vita lighted her cigarette.
Vita, the shemale(transgender) that often stationed in the Tugu train station, Yogyakarta, admitting the start why she became a shemale (transgender)because she was a man that is more interested to his own kind, in another word, a faggot. This shemale (transgender) that have Rahmat as his real name, confessing that being a shemale is his way of life.Read more!
Posted by sumaryanto bronto at 9:51 AM 4 comments
Labels: photo story
Wednesday, May 21, 2008
Buddhist Vesak Celebrations
Vesak is the holiest day in Buddhism and a season of special holy significance to all Buddhists around the world. Vesak Full Moon is the holiest of all the full moon days. On this day are celebrated the birth, the Enlightenment, and the death of the Buddha.
In Indonesia Vesak Day called Waisak, Thousands of Buddhist monks and followers meditate for the moment of Vesak at Borubudur temple and Mendut temple. Buddhists in Indonesia celebrate Vesak Day or 'The day of Buddha's birth, his enlightenment and his reaching of nirvana'. Buddhism is one of five official religions in the world largest Muslim populated nation. Read more!
Posted by sumaryanto bronto at 9:56 AM 5 comments
Labels: Borobudur, buddha birthday, budha, budhist, vesak day, waisak